SENYUMLAH, SELAMA TAK PERLU PENJEPIT PIPI
Pagi
ini, aku cuma berbaring di ranjangku, mendengar musik dari earphone,
dan membiarkan nyamuk-nyamuk berkeliaran menyedot darahku.
Aku
mengibaskan air asin yang bocor dari bendungan pelupuk mataku, beberapa
kali menimpa tuts keyboard netbookku, kau tahu ? pagi ini aku berhasil
membuat rekor 20 status galau per jam, dan sumpah serapah dua meter
panjangnya di blog. gila kan !
Ya, segila segala sesuatu yang datang mendadak, lalu menghancurkan kebahagiaanku dalam festival olahraga nasional besok. besok !
"ray !"
Mama
mulai lagi ritual ketuk pintu kamar a.k.a cemas padaku. meski malas,
aku tak pernah membiarkan wanita lembut itu khawatir berkepanjangan,
maka aku pun bangkit, berpaling sebentar dari
netbook dan segala macam caci makiku, dan....
Bruk !
Tahukah
kau bagaimana rasanya saat tulang ekormu menyentuh ubin dan berbunyi,
tuk ! yah..mama langsung menyerbu masuk seperti burung yang di lempar
biji jagung, kemudian ia membantu mendudukkan ku dikursi, kursi istimewa
untuk orang cacat, kau tahu lah...
"ray, kamu harusnya bilang dong
pintunya nggak dikunci, ada yang sakit sayang ?" mama memelukku seperti
bayi yang baru saja jatuh dari atas kasur.
Aku lalu melepaskan
pelukan mama, " ray enam belas tahun ma..., lagi pula tiga hari terakhir
ini rasanya sekujur tubuh ray kaku kayak mayat, jadi biar pun ray jatuh
seribu kali, nggak akan membuat ray kesakitan..."
Lagi, aku
membuat mama menangis. dihadapannya aku sepertinya kuat, tapi sebenarnya
aku karung basah. aku menangis, aku mengeluh dan membawa sumpah serapah
pada apapun selain pada mama. pada mama aku tak berani mengeluh, mama
sendirian, aku takut ia tak sekuat aku.
Ah, semuanya sejak aku
terjun dari lantai tiga sekolahku, tiga hari dimana aku akan mengangkat
namaku dan nama sekolahku diajang bulu tangkis nasional tingkat pelajar.
Teman-temanku
sesama ekskul bulu tangkis dan teman-teman kelasku, datang kerumahku,
bukan untuk memberiku selamat atas terpilihnya aku sebagai perwakilan
sekolah diajang itu, tapi untuk memberiku buah-buahan, lalu mengucapkan '
semoga cepat sembuh, tetap semangat ya !' dan mereka pulang dengan sara
syukur karena masih diberi kesehatan.
Dan dan saat semuanya
begitu suram dalam setiap jengkal utakku, aku bertemu orang aneh yang
mulutnya penuh dengan kata-kata penuh cinta, penuh harapan, dan aku mual
saat itu.
Yang ku tahu namanya zen, usianya dua puluh tahun, ia
seorang motivator dan penulis buku best seller yang mengajak orang
semangat hidup bla..bla..bla...aku tak mengerti mengapa ia begitu
terkenal, disukai banyak orang ? apa karena ia sempurna punya hidung
mancung dan kulit yang putih ? atau karena ia bisa berdiri tegak..?
“berhentilah
untuk mencoba membuat ku merasa lebih baik, karena aku takkan lebih
baik lagi dari ini !” bentakku padanya suatu kali.
Ia tersenyum,
menampakkan lagi wajah malaikat yang sesungguhnya meluluhkan hatiku,
“aku nggak pernah mencoba membuatmu lebih baik, bahkan tak juga mencoba
membuat orang lain lebih baik, kamu tahu ? aku Cuma bertugas membuat
orang tersenyum selama ia tak perlu penjepit pipi..”
Aku tersenyum miris, “kamu pikir ini lucu ?”
Zen diam berpura-pura berfikir, “enggak.”
Sejak
itu aku malah lebih sering bersamanya, ia seperti abang yang ada
dimana-mana untukku, bahkan nyamuk saja tak pernah muncul saat aku
mengharapkannya ?
Sejak aku bertemu abang baruku, aku kembali
sekolah meski tak lagi dijuluki bintang bulu tangkis. Tak apalah, zen
bilang untuk menjadi bintang aku tak perlu kaki dan tangan yang
sempurna, aku cukup punya api yang membara di sini, di dadaku...
“tapi zen, bahkan untuk naik tangga sekolah saja aku merepotkan...”
Dan
sejak itu pula aku mulai bisa menerima semuanya dengan lapang dada, aku
mulai menyadari seperti yang zen bilang bahwa rayap tak pernah minta di
tuntun untuk tahu betapa tanpa sepasang matapun ia bisa membangun
sebuah menara.
“tapi zen...tapi zen....tapi zen...” dan semua
tapi-tapian itu hilang dengan sendirinya seiring berjalannya waktu dan
aku mulai sibuk dengan kegiatan ilmiah disekolah. Aku mulai tak perlu
lagi zen bermulut penuh busa untuk menghentikan setiap keluh kesahku.
Suatu
kali, saat pulang sekolah zen datang ke rumah ku dan lucunya dia dengan
dua penyangga kaki diketiaknya, “hei, zen, apa ini bagian dari semua
hal yang kau rencanakan untuk membuat aku senyum tanpa penjepit pipi ?”
Zen
tersenyum, “ ini bagian dari hidup...kamu tahu hidup tak pernah
berhenti meski sebagian penting darinya tak lagi berfungsi, hem, kamu
mengerti..?”
Aku mengangguk lalu tersenyum,”enggak zen, aku nggak ngerti, sekali-kali pake bahasa gaul kek..”
“suatu hari nanti kamu akan mengerti...”.
Ya,
sampai dua minggu kemudian dan aku di tugasi Bu mela untuk mengadakan
wawancara dengan pasien di rumah sakit blabla. Aku tak pernah mengerti
kalimat yang di ucapkan zen saat terakhir kali bertemu denganku, aku tak
berusaha mencarinya dan tak juga memohon mohon minta penjelasan
kalimatnya itu, tidak ! mungkin dia sibuk, mama bilang ia orang hebat,
ia mungkin sibuk !
Sudahlah, jangan-jangan nanti dia tiba-tiba
alay dan saat aku memohon-mohon dia malah bilang, ‘mau tahu aja apa mau
tahu banget ? kan berabe...
Di rumah sakit blabla, aku nampak
benar seperti orang linglung, yah...bingung siapa yang harus ku
wawancara, apa aku harus mewawancarai bayi baru lahir dan bertanya,
bagaimana rasanya didalam perut ibu ? konyol.
Dan aku putuskan
untuk bertanya pada entah siapa, yang duduk dikursi roda dan bertopi
pandan yang sedang merenung dijendela besar rumah sakit ini.
“maaf..”aku
menyentuh pundaknya perlahan, takut tiba-tiba dia berbalik dan
mendorong kursi rodaku kejendela besar sampai kacanya pecah dan aku
terbang seperti dulu.
Tidak, ia berbalik dan tidak mendorongku,
ia malah membuat ku menjatuhkan papan dada dan pulpen yang ku pegang
erat-erat, “kamu ?”
“ceritakan zen, dan mengapa ?! “aku seperti lupa
hendak apa aku ke rumah sakit ini, aku tak perlu mewawancarai laki-laki
bertopi pandan berkursi roda itu, ia zen !
“kau sudah menemukan jawabannya ray ?”zen lagi lagi tersenyum, ia cukup membuatku terkejut setengah mati.
Tiga
hari kemudian aku tak pernah lagi mengharapkan kedatangannya kerumahku
seperti biasa, sebenarnya aku takut, tapi aku tak bisa menampakkan
betapa aku marah padanya, ia berbohong.
Sepulang sekolah, aku
mengunjunginya di kamar blabla no blabla lantai blabla rumah sakit
blabla, kau tahu ? sejujurnya aku ingin tertawa melihat kepala zen jadi
plontos seperti bakso, tapi sekarang aku ingin menangis.
“zen, apa
ini bagian rencana mu membuat aku merasa lebih baik..?” tanpa sadar aku
menjatuhkan setetes air yang begitu cepat turun secepat semua kejadian
ini.
Zen diam, selang oksigen dihidungnya bergerak sedikit
pertanda zen masih mendengar suara ku yang sedikit terisak. Lalu zen
berusaha tersenyum dengan susah payah...
“zen, mengapa kau sekuat itu
? kau tak pernah bilang bahwa kau juga sama sakitnya dengan
aku...padahal kalau kau bilang, aku pasti akan cepat lebih baik...”
Zen
tersenyum lagi, sepertinya bahkan hanya untuk menunjukkan senyum saja
ia sulit, tapi aku menyadari tanpa kata-kata dan mulut berbusa, ia telah
memberi ku satu kalimat lagi, ‘senyumlah selama kau tak perlu penjepit
pipi...’.
Maka, aku mengusap air mataku dan aku bernafas lega, “ terima kasih zen...”.
Kau
aneh zen ! kenapa kau begitu bodoh, kau biarkan jasadmu mati tapi kau
malah meninggalkan kalimat-kalimat itu disini kau tahu ? kalimat itu
takkan pernah hilang dari pikiranku selamanya, kenapa tidak kau bawa
saja ? biar suatu saat kau bisa cerita pada semua penghuni syurga ?kau
memang abang teraneh yang pernah ku kenal, tapi...